Escape To Tidung Island
Hai, hari ini gue pengen cerita lagi tentang perjalanan
Marsipala ke pulau Tidung yang terletak di kepulauan seribu Dki Jakarta, tapi supaya cerita ini berjalan santai, izinkan gue memenuhi
persyaratan menulis yang baik terlebih dahulu, yaitu 5W1H! Yang pertama yaitu ‘What’, jawabannya adalah “Open Trip
Marsipala”. Jadi setiap tahun itu, Badan Pengurus Harian atau yang istilah
malas omongnya ‘BPH’ dari Mahasiswa Teknik Pecinta Alam (Yang sudah ‘tercampur’,
eh, ‘dicampur’ lah biar lebih manusiawi. Oke, yang sudah dicampur aduk sama
mahasiswa-mahasiswi fakultas entah berantah lainnya seperti gue), mengadakan
acara Open Trip.
Acara ini sepanjang sejarah belum pernah diadakan di puncak
gunung, mengingat target utamanya adalah para mapala baru (MPM) yang belum
cukup latihan untuk langsung nembak ke gunung. Tapi kalau ada keajaiban,
tiba-tiba mapala baru yang masuk badannya kayak Ade Ray semua, huh, mungkin
Open Trip bisa langsung tembak ke Gunung Jaya Wijaya. *Usap dagu (‘Who’nya sudah
terjawab ya saudara-saudara.)
nih contoh nya, oke-oke aja kalo open trip ke gunung jaya wijaya langsung
:P
“When!” Acara ini
diadakan sabtu kemarin, tepatnya tanggal 13-14 September 2014. “Where?” Jawabannya adalah Pulau Tidung
di Kepulauan Seribu! “Why Pulau Tidung?”
Karena di Pulau Tidung tuh ada yang namanya Jembatan Cinta. Masyarakat Tidung
percaya bahwa kalau kita lompat ke air dari atas jembatan tersebut, kita
bakalan segera dapat jodoh! Nah, kebetulan kan kita di Marsi banyak yang jomblo
ngenes, eh, jomblo cakep nih, jadi kita yang jomblo cakep dan pemberani ini akan
membuktikan mitos tersebut benar atau tidak!
Jono mencoba peruntungan cintanya di sini. |
well, koboi di tidung mencari cinta! ehh hampir mendapat cinta ahhaayy Don Juan, ehh Don Jono ekekekekekek |
Sudah ya lima ‘w’nya? “How”nya bakalan gue selipin di
kalimat-kalimat berikutnya, s’karang saatnya bercerita panjang lebar! Pagi-pagi
bener, pas matahari aja masih ogah untuk munculin kepalanya, anak-anak Marsi
yang rajin sudah berkumpul di kampus dengan wajah yang, ehm, masih ngantuk dan
kayaknya banyak yang belum mandi. Dan seperti biasa, janjiannya jam lima subuh,
berangkatnya pas tumbuh-tumbuhan sudah siap berfotosintesis. Kami berangkat
menggunakan 3 mobil Lamborghini yang bentuknya kotak dan tempat duduknya miring
berhadapan, maksudnya angkot.
Perjalanan menuju Pelabuhan Muara Angke tidak terlalu lama,
ditambah lagi gue dan teman-teman bisa menikmati panorama matahari terbit yang
gede, bulet, dan oranye banget di perjalanan. Sesampai di pelabuhan, kami
berjalan menyusuri pasar ikan yang beceknya lebih pantas disebut banjir ringan,
tapi tetap kami nikmati. Tibalah kami di Kapal Jelajah. Disana kami menunggu kapal sampai penuh sambil berfoto ria di atap
kapal-kapal tetangga, setelah kapal sudah siap diberangkatkan, kami kembali
lagi ke kapal, dan duduk manis disana selama kapal berangkat.
Ditengah perjalanan gue keluar ke pinggir kapal untuk
mengikuti teman-teman gue yang duduk disana. Hal yang paling menakjubkan selama
duduk di sana adalah, laut yang tadinya hitam, kotor, bau, rasanya banyak ikan
yang bunuh diri disana, semakin jauh kapal dari Pelabuhan Muara Angke, semakin
biru airnya. Kalau ada orang yang paling udik di kapal itu, itu pasti gue!
Bagaikan menemukan harta karun, gue sangat terharu akhirnya bisa melihat laut
nan biru di Jakarta. Yang tadinya masih mempertimbangkan untuk berenang atau
tidak di Pulau Tidung nanti karena khawatir airnya kotor, sekarang malah gue yang
sudah tidak sabar lagi untuk lombat ke dalam air.
Pulau Tidung sudah nampak di depan mata, ada masjid yang
besar sekali menyambut kedatangan kita disana. Gue bingung kenapa Pulau sekecil
itu punya bangunan yang terbilang besar dan tampaknya ramai sekali dengan
bangunan lainnya. Seumur-umur rasanya gue belum pernah melihat pulau kecil yang
seramai itu. Kata teman gue, Pulau Tidung adalah pusat dari seluruh pulau di
Kepulauan Seribu. Kapal merapat ke dermaga Pulau Tidung, semua penumpang
berhamburan ke dermaga dan setelah diabsen, GUE dan teman-teman Marsipala
berjalan menyusuri kota, menuju penginapan.
Ternyata bukan hanya ramai oleh bangunan, Pulau Tidung
ramai akan sarana transportasi juga. Ada becak, motor, bemo, tapi yang paling
banyak adalah sepeda. Orang-orang berlalu-lalang disana-sini, semakin
menciptakan suasana liburan. Di pulau tidung banyak sekali penginapan dan
pangkalan sepeda. Rasanya Pulau Tidung adalah tempat wisata yang sangat mudah
untuk direncanakan, ada banyak wahana air dan tour guide juga loh.
Setelah meletakkan barang-barang di penginapan dan makan
siang, kami diantar guide untuk snorkeling.
Yang membawa kami ke spot snorkeling kapal yang ukurannya lebih
kecil dari kapal yang membawa kami ke Pulau Tidung tadi. Kapal ini berisi
penumpang lain juga selain kami. Sesampai di tujuan, ada banyak kapal yang sama
dengan kami juga, laut kini dipenuhi dengan warna oranye yang bersinar dari
pelampung kami. Jangan lupa abadikan moment
dalam air! Selain difoto oleh teman-teman, kami pun difoto oleh tour guide kami.
Kulit yang mulai merah terbakar sinar matahari, tampaknya
tidak membuat orang-orang ingin berhenti menjelajah kehidupan di dasar laut.
Sayangnya, waktu kami masih sibuk bersilaturahmi dengan ikan-ikan dan terumbu
karang di dasar laut, waktu snorkelingnya
habis. Kami harus segera kembali ke kapal menuju Pulau Tidung. Kalau biasanya
di gunung kami meninggalkan jejak kaki pada alam, kini alam yang meninggalkan
jejak pada tubuh kami, yaitu luka-luka segar karya terumbu karang. Tapi tidak
apa-apa, aku senang punya luka, it’s
seems like the wonder of life, right?
Ada lima hal yang setelah kita konsumsi dapat membuat kita feel better, yaitu: Narkoba, rokok,
alkohol, obat, dan ice cream. Aku
belum coba narkoba sih, tapi rasanya yang paling efektif dari semuanya adalah ice cream. Di Pulau Tidung, selain
banyak wahana air dan tour guide, ada
banyak penjual ice cream juga. Dan ice cream yang sedang aku makan di
jembatan cinta ini, kira-kira yang ketiga. Eh, kok jadi ngomong ice cream sih? Harusnya gue ngomong dari
tadi kalo gue sama-teman-teman udah ada di jembatan cinta sekarang, keasikan
makan ice cream sih. Jadi gini
pembaca setia blog Marsipala, gue tuh
dari tadi hatinya pingin lompat dari atas jembatan cinta, tapi otak gue terus
berpikir keras mau lompat apa tidak.
Kejadian yang paling makan waktu rasanya disini deh, semua
orang berusaha berperang melawan pikiran dirinya sendiri agar berani melompat
dari ketinggian sekitar 3-5 meter ini. Tips yang selalu manjur dari gue ketika
mau melakukan hal yang gue sendiri takut adalah, berhenti berpikir sejenak, lansung
aja buang tubuh lo ke depan, dan brushhh! Berhasil! Semoga gue cepat ketemu
jodoh ya teman-teman. Beberapa jam kemudian hampir semuanya berhasil melompat
dari atas jembatan cinta dan naik wahana air. Kami akhirnya berjalan kaki,
pulang ke penginapan. Gue lupa menginformasikan bahwa penginapan kita bersih
banget terlepas dari 2 ekor kecoak yang berhasil kami usir dari rumah (Padahal
pecinta alam, harusnya tidur sama kecoa dong). Makanannya juga boleh lah, kalo
kurang cocok di lidah, bisa juga tuh makan bakso yang gedenya kayak bola kasti
di warung pinggir pantai.
Jadi, bagaimana cara kita melewati malam ini dengan indah?
Makan ikan bakar di dermaga bersama pendatang-pendatang yang lain sambil makan ice cream (lagi) rupanya adalah ide yang
bagus. Gue menikmati duduk di atas terpal sambil mendengar musik dangdut dan
menonton orang-orang berjoget ria dari kejauhan (serius). Kapan lagi ada
suasana kayak gini di Jakarta? Selesai makan, gue dan beberapa teman kembali ke
penginapan untuk beristirahat, sedangkan teman-teman yang lain bersepeda malam
menyusuri kota. Mungkin ada yang lagi berduaan, lagi mencari jodoh di jembatan
cinta, lagi ikutan dangdutan, entahlah. Selamat tidur semuanya.
Rasanya jarang sekali gue bisa tidur dengan nyenyak dan
bangun dengan kemauan diri sendiri, tapi gue berterima kasih juga sih kepada
teman-teman yang sudah membangunkan gue untuk melihat sunrise. Kami bersepeda pagi menyusuri penginapan demi penginapan,
pantai, kafe-kafe pinggir pantai (Mengejutkan), hingga akhirnya tibalah kami di
Jembatan cinta lagi. Mataharinya sih sudah terbit, kita telat, tapi setidaknya
bias-bias matahri pagi yang berwarna oranye masih dapat menjadi latar foto
kita.
Rasanya aku dan teman-teman sudah cukup menyerah sinar
mentari pagi di Pulau Tidung. Akhirnya setelah membeli dream catcher di sebuah toko kecil di pinggir pantai, aku dan
teman-teman pulang ke Jakarta. Perjalanan pulang masih terasa seru, karena kita
duduk di dek kapal yang paling depan , beratapkan atap terbaik dunia yaitu
langit, melewati pulau-pulau lainnya, dan bernyanyi bersama para penumpang
asing sambil diiringi petikkan gitar. Gue juga banyak ngobrol dengan
orang-orang di atas kapal, tenggelam dalam lagu-lagu yang diputar di kapal, bahkan
mencoba mengemudikan kapal dituntun oleh Bapak Kapten yang baik banget.
Kembalilah kami ke Jakarta, membawa pengalaman yang menyenangkan untuk diingat. Akhir kata, sampai jumpa di perjalanan-perjalanan berikutnya.
Jika ilmu pengetahuan bisa membuatku melupakan sahabat terbaikku, aku lebih memilih menjadi bodoh saja_ Patrick Star
Story by: M201315
Adminnya udik nih, wkwkwkwk
BalasHapus